Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

  • Niac Mitra vs Arsenal 2-0: Gara-gara Udara Panas dan Lapangan Buruk?

    Niac Mitra mengukir kenangan indah di depan ribuan penggemarnya di Stadion Gelora 10 November ketika sore kemarin agak di luar dugaan menaklukkan klub kenamaan Inggris, Arsenal, dengan kemenangan mutlak 2-0.

  • Mino Raiola, Antara Mulut Besar Donald Trump dan Keberingasan Al Capone

    Dalam rimba transfer internasional dunia, ketika akan terjadi deal antara pemain, agennya, dan wakil klub, biasanya pertemuan terjadi di restoran mahal tertutup, lobi hotel mewah bahkan di kamar tertutup. Namun khusus kepada orang yang satu ini sulit terlaksana.

  • Stan Kroenke: Kapitalis Pemuja Wenger

    Sosoknya kaku, irit bicara, pelit senyum apalagi sampai tertawa terpingkal-pingkal. Tak salah kalau pers Inggris menjulukinya the silent man atau si pendiam. Sorot matanya tajam, gerak-geriknya tanpa ekspresi, pikirannya selalu fokus tanda suka berpikir sesuatu yang menarik minat. Suasana hatinya dingin, barangkali sedingin darahnya, dan kelihatannya orang ini rada susah untuk dijadikan teman atau sahabat.

  • Angela Merkel: Wanita Terkuat di Dunia

    Kiprah nyonya besar yang satu ini tak sampai begitu. Tapi pelampiasannya unik. Satu gerakan moral Angela Dorothea Merkel, Kanselir Jerman sejak 2005, yang jadi hobi dan habit sebab sering dilakukan adalah nyelonong ke kamar ganti pemain!

  • Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

    Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan masa lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon saat mengusung aliran progressive rock lewat band The Who di era 1970-an, kerap kali campur aduk dengan era keemasan The Old Double.

  • Persija, Inspirasi dari Soempah Pemoeda

    Berkat sejarahnya, dominasi Persija di blantika nasional tak pernah lekang dimakan waktu. Catatan fenomenal juga ditorehkan klub berlambang Monas sebagai satu-satunya klub dengan rekor tak pernah terkena degradasi sejak debut pada 1931.

  • Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

    Medio 1980-an, ketika masih masa anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka sebenarnya sudah sering dihebuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran langsung Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI. Satu yang paling rajin menurut saya adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong.

Tampilkan postingan dengan label Laga Klasik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laga Klasik. Tampilkan semua postingan

Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu

Bicara perjalanan sejarah sepak bola global, memang Inggris dan Italia yang patut banyak dikenang. Keduanya adalah ikon penguasa masa silam permainan yang masih eksis hingga kini dalam mempertahankan reputasinya, sesuatu yang tak bisa dilakoni Cina, Yunani, Jepang, atau Mesir. Kisah peperangan selalu menginspirasi kemenangan, sekaligus bikin kekalahan menjadi pelajaran hidup.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Kapten nasional terbaik. Sir Bobby Moore dan Giacinto Facchetti.
Berdasarkan kata kerja, perang dan sepak bola jelas berbeda. Namun kata sifatnya tetap sama, ingin saling mengalahkan. Dan terlalu sulit dipungkiri, di dalam pola manajemen dasar pun keduanya punya corak yang sama. Setidaknya sama-sama untuk memenangi persaingan toh?

Sejarah klasik kerap bercerita, bahwa untuk memenangi perang sungguhan itu sangat dibutuhkan taktik, strategi, artileri, tentara, hingga pasukan khusus. Hmm, oke. Lantas, bukankah memenangi perang di sepak bola juga dibutuhkan skuad, pemain, kapten, taktik, strategi sampai pelatih atau manajer?

Dunia telah berubah. Sekarang tidak lagi harus seperti peperangan klasik ketika ingin menguasai suatu negara bahkan beberapa wilayah sekaligus. Kini yang diperlukan cuma nota kesepakatan, sekelompok pemain bola hebat, dan sekian brand kesebelasan yang sebisa mungkin ngetop pula. Jujur saja, ekspansi dalam perang kini telah berganti menjadi ekspansi dalam bisnis.

Bicara ekspansi sepak bola, Kerajaan Inggris tentu jagoannya. Bangsa ini dicatat abadi oleh sejarah dunia sebagai penemu sepak bola atau kreator permainan lantaran menjadi pihak yang pertama kali bikin tata cara atau aturan pertarungan biadab sehingga menjadi beradab. Maka wajarlah jika industri Premier League kini menghebat. Ada lintasan waktu yang tidak bisa diabaikan.

Jadi pertanyaan kenapa skala bisnis Premier League kini bisa jadi yang terbesar dan terkaya dibanding kompetisi lain sangat berbanding lurus dengan pertanyaan kenapa mereka bisa sukses melahirkan sepak bola. Sumber jawabannya adalah soal kompetensi, di dalamnya sudah termasuk pengalaman, kemampuan, dan reputasi serta historikal.

Apapun jadi menarik, diperhatikan, bahkan dipercaya orang saat sosok atau ada pihak dianggap sebagai ahlinya. Posisi tawar Premier League jadi tinggi sebab ini kompetisinya bangsa Inggris, si penemu sepak bola. Begitu kental kesan legacy-nya, sampai-sampai berlaku ungkapan di mana argumentasi kebenaran jadi tidak relevan lagi, bukan apa yang dikreasi, tetapi siapa yang mengkreasi.

Di eranya, label Kerajaan Inggris adalah The Great Empire. Faktor Revolusi Industri (James Watt hingga Richard Trevithick), Revolusi Sains (Sir Isaac Newton, Charles Darwin, Stephen Hawking) atau Revolusi Informasi dengan Alexander Graham Bell (telepon) hingga Sir Timothy John Berners-Lee (internet) sangat mempengaruhi keunggulan kompetensi Great Britain dalam permainan dan law of the game, bahkan sampai saat ini.

Sementara Italia tidak mau kalah. Sebut saja beberapa gelintir di antaranya. Di komunikasi ada Guglielmo Marconi dan Antonio Meucci, pembuat sinyal radio dan telepon. Lebih tua lagi ada Evangelista Torricelli dan Galileo Galilei, dua penemu barometer serta termometer.

Globalisasi bahasa Inggris dan pencitraan angkatan perangnya (darat, laut dan udara), kian memastikan adikarya Inggris di sepak bola sepertinya pasti wow dan patut diikuti, sebagaimana industri musik mereka. Apakah cuma Inggris saja yang berbuat banyak di sepak bola dengan mengandalkan latar belakang sejarahnya? Ternyata tidak.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Francesco Totti dan Wayne Bridge. Dua kebudayaan sepak bola terkuat.
Setelah mendengar rencana Serie A bikin terobosan baru dengan menggelar sebagian laganya di mancanegara mulai musim 2015/16, hal implisit pertama yang perlu dikaji apakah alasannya? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita butuh sejarah. Atau setidaknya memahami ungkapan klasik Tutte le strade portano a Roma (banyak jalan menuju Roma).

Bicara sepak bola, Italia punya aturan, bahkan kitab suci atau 'nabi' sendiri. Di satu sisi, tampaknya hanya negara ini yang tak mengakui Inggris sebagai penemu sepak bola, kecuali cuma membuat aturan permainannya, sebab ada klaim merekalah sesungguhnya yang pertama memainkannya. Dirunut dari horison waktu, sejak dulu kedua bangsa ini memang berseteru.

Peletupnya dimulai dari ekspansi tentara Kekaisaran Romawi di bawah rezim Gaius Julius Caesar (100 SM-44 SM) ke Pulau Britania pada tahun 55-54 SM. Peperangan besar melawan penguasa Inggris kuno pimpinan Cassivellaunus pun tak terelakkan. Konon, tentara Romawi sering memakai penggalan kepala hasil kekejaman perang sebagai 'bola' dalam permainan menendang.

Pemberontakan dan Tekanan

Mereka melakukan itu untuk mencari kesenangan atau mengisi waktu luang. Rakyat setempat membalasnya saat giliran mendapat kepala prajurit Romawi. Malah diceritakan kedua kubu pernah menggelar laga resmi dengan sepotong kepala musuhnya. Barangkali hal seperti inilah yang mengawali stigma bahwa sepak bola itu sejatinya adalah permainan biadab menjadi sulit dibantah.

Untungnya kisah kedua perseteruan Italia vs Inggris terkesan lebih edukatif. Terjadi tepat di era Renaissance, di abad pertengahan. Seorang pangeran nyentrik dan seniman serba bisa dari Firenze bernama Giovanni De Bardi menyusun cerita sebuah permainan campuran yang mirip rugbi dan sepak bola pada sebuah buku berjudul Discorso sopra il Giuoco del Calcio Fiorentino del Puro Accademico Alterato, atau disingkat Calcio Storico, pada 1580.

Di dalam Calcio Storico disebutkan aturan sepak bola dan bagaimana cara menjalankan olah raga menendang, il Giuoco. Bukan itu saja, bahkan tata kelola penonton, ukuran lapangan, komposisi dan tugas pemain, harga tiket sampai regulasi kompetisi atau kelas duduk penonton dipaparkan. Dari buku itu pula muncul istilah yang dipakai Italia hingga sekarang, yaitu Calcio, sepak bola.

Klaim Italia lebih duluan dari Inggris dalam menyusun kitab sepak bola memang terbukti karena bila Calcio Storico terbit pada 1580, buku karya Richard Mulcaster, Position Where in Those Primitive Circumstanes be Examined, baru lahir setahun kemudian. Dari buku Mulcaster inilah, hampir tiga abad kemudian, para mahasiswa Universitas Oxford mengubah kronologis panjang ribuan tahun ke titik signifikan dengan mempresentasikan aturan baru permainan sepak bola.

Mereka mengumpulkan para pemilik klub di Inggris sehingga amat berperan signifikan atas berdirinya FA, sekaligus kepastian lahirnya sepak bola modern, 26 Oktober 1863 di London. Hanya berselang minggu FA berdiri, mereka mencetak buku peraturan lalu mengirim ke negara tetangga dan jajahannya di seluruh dunia. Yang lucu, rupanya Italia juga mendapat kiriman paket tersebut.

Calcio Storico jadi tidak bermanfaat buat dunia karena saat itu Italia sudah tak punya angkatan laut tangguh dan jajahan luas seperti Kerajaan Inggris yang membuat pengaruh atau bahasa mereka tidak bisa populer sejagat. Padahal jika ditarik ke masa silam, jelas-jelas Romawi adalah imperium terbesar di dunia di luar Persia, justru waktu Britania masih hidup di zaman batu.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Gaya fenomenal Filippo Inzaghi di dpan Liverpool.
"Kamilah pemilik pagelaran sepak bola paling sukses di dunia," kata Richard Scudamore, CEO The Premier League. Arogan? Tergantung sikap Anda. Ungkapan Tobias Jones tentang Italia pada buku The Dark Heart of Italy rada sensasional. "Untuk memahami karakter bangsa ini, pahamilah karakter permainan mereka di sepak bola," tulisnya. Jose Mourinho ikutan menguak realita. "Bersaing? Italia main bola cuma 90 menit seminggu, sedangkan Inggris 12 jam seminggu!"

Sejak lama para analis dan ekonom bilang bahwa Premier League adalah inventaris bisnis terbaik sepak bola yang pernah ada. Padahal semua tahu, tidak satupun kompetisi yang sanggup membendung popularitas Serie A hingga awal milenium sebelum dihancurkan oleh bangsa Italia sendiri melalui Calciopoli.

Secara prestasi fakta juga impresif. Klub-klub Serie A lebih mendominasi titel ketimbang tim-tim Premier League. Belum lagi di pentas nasional. Italia lebih sering jadi juara dunia. Parahnya, buat Inggris titel juara Eropa saja statusnya tetap mustahil. Meski berseberangan, anehnya jiwa sepak bola Inggris dan Italia sebenarnya mirip. Inggris dilandasi oleh pemberontakan, Italia oleh tekanan.

"Di Inggris, secara seksual anak-anak sudah tertindas, terusir dari sekolah, atau dikirim ke asrama yang melahirkan pemberontakan diri. Inggris membenci (kehidupan) anak-anak. Di Italia kebalikannya, anak-anak tetap tinggal bersama orang tuanya, bahkan sampai usia mereka 30 atau 40 tahun," jelas Malcolm McLaren, kreator band Sex Pistols.

The Battle of Highbury
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Wasit Otto Olsson dan dua kapten, Attilio Ferraris dan Eddie Hapgood. Klasik dan legendaris.
Di pentas abad industri dan informasi, persaingan terselubung Inggris dan Italia selalu ada namun melulu berada di atas lapangan hijau, tidak terkecuali drama sebelum dan seusai laga. Hasilnya Inggris mendominasi diplomasi dan media global yang bikin Italia banyak tersudut kecuali hasrat mempertahankan dominasi di permainan. Di sinilah Italia biasanya merajutnya sangat serius.

Namun di sebuah laga persahabatan yang menjadi puncak permusuhan dua kultur terjadi pada 14 November 1934. Tempatnya di Highbury, stadion milik Arsenal. Oleh sebab itu pers lokal menyebut laga ini The Battle of Highbury. Buat masyarakat saat itu malah lebih bombastis: final Piala Dunia yang sesungguhnya. Meski Italia baru menjuarai Piala Dunia 1934 yang kontroversial itu, tapi dunia tahu waktu itu Inggris adalah kampiun Eropa tidak resmi.

Laga makin dramatis mengingat kala itu Italia sangat membenci Inggris gara-gara friksi politik. Inggris juga ikut membenci Italia setelah Benito Mussolini memegang tampuk kekuasaan dengan mazhab fasisme, yang salah satu visinya mengidamkan kebudayaan Romawi sebagai tujuan politiknya. Apalagi sejak 1928 FA, yang merasa pemilik sejati sepak bola, bercerai dengan FIFA yang ditunggangi barisan negara-negara penentang dominasi Inggris di sejarah masa lalu.

Il Duce amat fasih sejarah klasik masa silam sehingga amat berkepentingan pula dengan laga itu. Ia menjanjikan hadiah bagi setiap pemain berupa mobil Alfa Romeo ditambah uang bila Azzurri menang. Rombongan menuju London dengan hati berbunga-bunga, dipimpin Vittorio Pozzo, jenderal sepak bola legendaris. Momen ini sekilas mengingatkan orang saat Gaius Julius Caesar memerintahkan Gaius Volusenus sebagai pimpinan armada Romawi saat menginvasi Britania.

Pasukan Pozzo hanya diperkuat tiga pemain yang bukan dari Juventus dan Inter: Eraldo Monzeglio (Bologna), Enrique Guaita (Roma), dan kapten tim Attilio Ferraris (Lazio). Sisanya terjadi dominasi. Lima dari Juventus (Giovanni Ferrari, Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Pietro Serantoni, dan Luis Monti), dan tiga dari Inter (Carlo Ceresoli, Luigi Allemandi, dan Giuseppe Meazza).
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Duel sengit Inggris vs Italia di Highbury. Tujuh pemain Arsenal.
Uniknya dominasi juga terjadi di kubu tuan rumah. Starting XI Three Lions dijejali oleh 7 pemain Arsenal (Frank Moss, George Male, Eddie Hapgood, Wilf Copping, Ray Bowden, Ted Drake dan Cliff Bastin)! Hanya Stanley Matthews (Stoke City), Cliff Britton (Everton), Jack Barker (Derby County) dan Eric Brook (Manchester City) yang bukan. Berbeda dengan Italia dengan skuad yang berpengalaman, Inggris mengandalkan tim muda yang semuanya di bawah 10 kali membela tim nasional.

Akan tetapi hasilnya luar biasa. Wasit Otto Olsson (Swedia) dan 56.044 orang yang memadati Highbury jadi saksi hidup sejarah klasik Anglo-Italian. Baru dua menit Drake telah meretakkan tulang kering Monti, dalam tubrukan yang tidak terhindarkan. Gilanya lagi, Monti masih sanggup main hingga 15 menit, barangkali masih memimpikan Alfa Romeo. Akhirnya dia roboh dan Italia harus tampil dengan 10 orang sebab waktu itu sepak bola belum mengenal pergantian pemain.

Gara-gara itu pula Inggris langsung unggul tiga gol setelah Brook dan Drake melesakkan bola ke jala Beseroli hanya di 12 menit pertama. Bayangan wejangan Mussolini rupanya melecut Azzurri. Di babak kedua, Meazza memborong dua gol di menit 58 dan 62. Skor jadi 3-2, dan perjuangan hebat Azzurri harus berhenti, tidak berubah, hingga Olsen menyudahi laga. Kisah Battle of Gergovia, mana kala Vercingetorix mengakhiri kekuasaan Romawi di Britania pada 46 SM, seolah-olah terulang.

Penjelasan historis dan paparan pertarungan telah selesai. Cerita ini selalu dicerna, laten, dan berurat akar secara turun temurun hingga kini dan ke depan. Ada kemarahan, ada respek. Lintasan berikut telah menunggu, karena DNA para leluhur yang masih bersemayam kuat di tubuh generasi para pewaris, pasti bakal mendorong friksi Anglo-Italia di sepak bola di masa depan secara alamiah.

Tanda-tanda awalnya ada, setidaknya saat merenungi rencana Serie A siap mendobrak kekuasaan Premier League di pasar global tontonan bola mulai tahun depan. Serie A punya momentum untuk mengembalikan era kejayaannya setelah satu dekade terakhir ini, praktis dikuasai Premier League. Satu bab terakhir yang belum terungkap, The Battle of Alesia, tampaknya bakal menjadi reinkarnasi yang entah kapan terjadinya.

(foto: huffingtonpost/mirror/footyfair/PA)

Share:

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka Arsenal

Memasuki tahun ketiga 'puasa' tampil di ajang Eropa, dampak dari tragedi Heysel, agaknya klub-klub Inggris mulai kehausan kendati di sisi lain ada hikmahnya. Di tahun 1988 itu, bangsa Inggris kebetulan punya simpanan perayaan seabad kelahiran Football League, operator liga sepak bola pertama di dunia.

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka ArsenalMercantile Credit Management (MCM), sebuah institusi Australia yang cara cari duitnya memberi kredit dengan imbalan bunga, bersedia mensponsori kegiatan bagi 'orang-orang kehausan' tersebut. Sepanjang 1988, MCM menjamin dana dua turnamen yang pada satu segi, bertujuan memberi sampingan untuk pemain. Sebagai rekanan FA, MCM leluasa berbisnis di Football League. Dihelatnya Football Centenary Trophy 1988, yang mainnya sebulan sekali, jadi hadiah bagus buat klub-klub top jika menyebut 'seteguk air' dianggap rada kasar. Ajang ini juga sebagai koreksi dari kegagalan pesta sebelumnya, pada 16-17 April, yang berakhir gagal total dari sisi bisnis, dan setengah memalukan dari sisi tontonan. Meski main di Wembley dan diikuti 16 klub hasil audisi berdasarkan performa teranyar, turnamen The Mercantile Credit Football Festival itu amat miskin gol akibat mengingkari sepak bola sendiri. 

Masak' mainnya 2 x 40 menit? Dan, lihat sendiri, ada 16 klub dan dalam waktu dua hari. Bisa dibayangkan seperti apa kualitas permainan mereka. Para peserta turnamen edisi pertama itu adalah Aston Villa, Blackburn Rovers, Crystal Palace, Everton, Leeds United, Liverpool, Luton Town, Manchester United, Newcastle United, Nottingham Forest, Sheffield Wednesday, Sunderland, Tranmere Rovers, Wigan Athletic, Wimbledon, dan Wolverhampton Wanderers.

Juaranya adalah Forest yang di final mengalahkan Wolves lewat adu penalti pasca bermain tanpa gol. Peserta banyak tapi waktunya sempit yang berefek dipangkas waktu permainan, skor 0-0 pun merajalela sejak awal. Lucu, melihat klub top seperti Liverpool cuma main sekali doang, sebab kalah adu penalti dari di Newcastle di penyisihan awal.

Cukup masuk akal bila empat tim ibukota; Arsenal, Chelsea, Tottenham dan West Ham, ogah ikutan karena merasa esensinya bertentangan dengan nurani mereka. Satu-satunya hiburan terbaik turnamen saat melihat kiprah Tranmere, klub divisi empat yang menggilas Wimbledon dan Newcastle sebelum disingkirkan Forest lewat adu penalti.

Football Centenary Trophy 1988: Obat Mujarab Duka ArsenalLantaran terikat kontrak, Football Centenary Trophy 1988 jilid II kembali digelar dengan titel Mercantile Credit Centenary Trophy Final dengan peserta terbatas. Arsenal, Everton, Liverpool, Manchester United, Newcastle United, Nottingham Forest, Queens Park Rangers dan Wimbledon. Sistem pertandingan yang dipakai adalah sistem gugur.

Waktu turnamen yang tidak kondusif, 31 Agustus, atau menjelang bergulirnya musim 1988/89, berujung pada seretnya penonton di empat laga kualifikasi. Liverpool vs Forest 4-1 (20.141 penonton), Manchester United vs Everton 1-0 (16.439), Newcastle vs Wimbledon 1-0 (17.141), dan Queens Park Rangers vs Arsenal 0-2 (10.019).

Melihat minimnya orang ke stadion, kualitas turnamen ini dipertanyakan orang. Liputan pers tak begitu luas, stasiun TV juga tidak antuasias menayangkannya. Hal ini mengingatkan saat final edisi pertama, Wembley kosong melompong lantaran cuma diisi 17.000 penonton! Surutnya animo diduga karena absennya empat klub top ibukota.

Hadirnya Arsenal tidak banyak membantu gairah di edisi kedua. Chelsea, Spurs, dan West Ham tetap absen. Mereka digantikan oleh QPR dan Wimbledon. Mercantile Credit Centenary Trophy benar-benar cuma jadi festival belaka bahkan eksibisi! Satu-satunya laga yang sarat penonton terjadi di semifinal antara Arsenal vs Liverpool. Pada 20 September 1988 itu, Highbury dikunjungi 29.235 orang untuk melihat kemenangan The Gunners 2-1. Arsenal melaju ke final dan bertemu Manchester United yang mengalahkan Newcastle 2-0 di hadapan hanya 14.968 penonton Old Trafford! 


Trio Michael Thomas, David Rocastle, & Paul Davies.
Karena trauma Wembley takut kosong lagi, laga final pun dipindah ke Villa Park di Birmingham. Hasilnya lumayan. Dua pertiga Villa Park dipenuhi 22.182 penonton saat final pada 9 Oktober 1988. Paul Davis dan Michael Thomas, mencetak dua gol Arsenal. Sementara Manchester United hanya membalas melalui Clayton Blackmore. The Gunners pun jadi juara turnamen super-langka sebab, barangkali, berikutnya akan digelar pada 2088!

Seorang Gooner menuliskan pengalamannya menonton final yang diguyur hujan lebat tersebut. Dia antusias pergi jauh ke Birmingham dengan satu alasan: ingin melihat timnya meraih trofi, apapun itu. Mercantile Centenary Trophy barangkali mudah dilupakan, tapi titel ini dianggap obat mujarab kedukaan Arsenal di final Piala Liga 1987.

Laga centenary lain yang jadi penghibur klub-klub Inggris lantaran masih kena tampil di ajang Eropa adalah duel tim Football League XI (Gary Lineker cs) vs Rest of the World XI (Diego Maradona cs), Agustus 1987, di Wembley. Satu lagi adalah antara juara Liga Inggris Everton vs juara Liga Champion 1987 Bayern Muenchen yang berakhir 3-1.


DATA-FAKTA FINAL


ARSENAL vs MANCHESTER UNITED 2-1

Tempat: Stadion Villa Park, Birmingham
Waktu: Minggu, 9 Oktober 1988
Kick-off: 15.30 Waktu Lokal
Penonton: 22.182 orang
Wasit: George Courtney
Pencetak Gol: Paul Davis, Michael Thomas (Arsenal); Clayton Blackmore (Manchester United)
Road to Final: Perempatfinal: QPR 0-2 Arsenal (29/08/1988) Semifinal: Arsenal 2-0 Liverpool (20/09/1988)
Arsenal (4-4-2): 1-Jim Furnell; 3-Robert McNab, 6-Ian Ure, 4-Frank McLintock, 5-Peter Simpson; 9-George Graham, 2-Peter Storey, 7-John Radford, 8-David Jenkins (12-Terry Neill 75'); 10-Jon Sammels, 11-George Armstrong. Manajer: George Graham
Manchester United (4-4-2): 1-Gary Sprake; 3-Terry Cooper, 5-Jack Charlton, 6-Norman Hunter, 2-Paul Reaney; 11-Eddie Gray (12-Rod Belfitt, 75'), 10-Johnny Giles, 4-Billy Bremner, 8-Peter Lorimer; 7-Jimmy Greenhoff, 9-Paul Madeley. Manajer: Alex Ferguson

Skuad Arsenal 1988/89

Kiper: John Lukic, Alan Miller. Bek: Tony Adams, Steve Bould, Gus Caesar, Lee Dixon, David O'Leary, Nigel Winterburn. Gelandang: Paul Davis, Perry Groves, Martin Hayes, Brian Marwood, Steve Morrow, David Hillier, Paul Merson, Kevin Richardson, David Rocastle, Michael Thomas. Penyerang: Kevin Campbell, Niall Quinn, Alan Smith. Manajer: George Graham

(foto: youtube)
Share:

Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law

Semua orang punya hari sial. Klub juga begitu, tak selamanya punya hari baik. Penggemar United berdebar-debar menanti The Manchester Derby melawan City, pada Sabtu, 12 Februari 2011 di Old Trafford. Bukan apa-apa; misalnya dari sisi teknis, rekor, atau faktor kandang yang pasti menguatkan peluang tuan rumah; tapi soal menghindari nasib apes, ketidakberuntungan, sanggupkah mereka.

Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law
Derby of Manchester: United vs City.
Satu hal yang pasti, kita tak akan pernah tahu kapan datangnya nasib apes. Dari sisi mana pun, jelas United lebih hebat dari City. Tapi di sepak bola segala sesuatunya bisa terjadi. Tiada yang musykil dalam sepak bola. Justru United-lah biangnya untuk urusan yang mustahil-mustahilan.

Tanpa ini tak mungkin mereka meraih treble 1999.  Jika tak punya keyakinan, mana bisa mereka mengejar skor 0-3 menjadi 5-3 lawan Spurs pada 2001? Perlu disadari bahwa kemustahilan bersifat dua arah. Kemustahilan bagi United berujung bahagia, tapi kemustahilan buat Bayern Muenchen dan Tottenham Hotspur berakhir duka.

Sesungguhnya mengetahui hasil akhir kemustahilan dalam sepak bola bisa dilihat atau dirasakan sebelum pertandingan dimulai. Misalnya dari siapa yang terlalu percaya diri atau sebaliknya, yang merasa sangat tertekan. Soal keyakinan bermain, Red Devils adalah salah satu tim terbaik di Eropa.

Itulah mengapa mereka jarang sekali sial, atau dengan kata lain sering merasakan keberuntungan. Namun, pernahkah Manchester United mengalami hari naas di Old Trafford, maksudnya khusus melawan Manchester City? Tentu saja pernah, dan celakanya kekalahan itu menggoreskan luka yang amat dalam.

Kekalahan terakhir United pada derby Manchester mencoreng perjalanan karier Sir Alex Ferguson selama seperempat abad penuh mengendalikan Setan Merah. Pada Minggu, 10 Februari 2008, City yang tengah diasuh Sven-Goran Eriksson, secara mengejutkan menang 2-1 melalui dua gol Darius Vassell dan Benjani Mwaruwari sebelum dibalas satu gol konsolasi Michael Carrick di menit 91.

Ironisnya kekalahan itu tepat di saat United lagi memperingati 50 tahun Tragedi Muenchen. Tapi yang paling bikin mengganjal hati adalah; itulah kekalahan pertama Fergie dari City di depan publik Old Trafford. Naas? Bisa jadi.

Tak selamanya orang bernasib baik. Entah kapan munculnya, nasib sial bisa datang sekonyong-konyong. Secara personal, ini jadi aib Fergie seumur hidup sebab dari tujuh kekalahan dari City, itulah satu-satunya yang terjadi di Old Trafford! Menariknya, derby mendatang juga terjadi di awal Februari, saat United merayakan Peristiwa Muenchen ke-53 kali. Akankah sejarah itu berulang? Entahlah. Keunikan juga melihat lawan berikut Fergie. Jika di 2008 adalah Eriksson, maka besok yang muncul Roberto Mancini, murid Eriksson yang gayanya mirip sang guru namun lebih efektif dan pragmatis.

Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law
Pendukung Manchester City menyerbu lapangan Old Trafford.
Sejak pertama kali ber-derby ria pada 1894/95, khusus di liga hingga kini United telah menang 57 kali, sementara City 37 kali. Sebenarnya yang menarik dari duel sekota adalah komposisi kemenangan di kandang lawan. Dari statistik diketahui The City cuma menang 13 kali di Old Trafford, sedangkan United dua kali lipatnya, 26 kali, menang di Maine Road atau City of Manchester Stadium.

Puncak dominasi City atas United terjadi di era 1930-an, 1960-an, dan 1970-an. Sementara kejayaan United dari City, praktis sejak Ferguson masuk Old Trafford pada musim 1986/87, dan bertahan hingga milenium ini. Bentrok Mancunian juga kerap melahirkan kisah-kisah antagonis, yang diukir para pemain spesial, paling kontroversial, seperti dua orang berikut ini. Jika sekarang adalah Carlos Tevez, maka di era 70-an tak lain Denis Law! Karier dua orang ini mirip, mantan pemain United yang membela City.

Mereka juga sering terlibat dalam perang antar-Manchester. Tapi tak seperti Tevez yang kepribadiannya saja yang mengesalkan, aksi profesional Denis Law mengecewakan fans United. Jika sejauh ini ulah Tevez seolah-olah cuma menggertak atau mengancam, maka Denis Law sungguhan telah membunuh United!

Sebuah peristiwa di hari Minggu, 27 April 1974, tak akan pernah dilupakan bahkan dimaafkan publik Old Trafford hingga kini. Pada akhirnya, ini menjadi alasan kenapa buat penggemar United yang berstatus die-hard, apalagi dengan jam terbang di atas 50 tahun, tak sudi mengakui The Lawman adalah legenda klub.

Waktu itu divisi satu Liga Inggris yang masih memakai sistem dua poin untuk tiap kemenangan menyisakan dua pekan lagi untuk mengakhiri kompetisi. Juaranya telah dipastikan: Leeds United, dengan runner-up-nya Liverpool. Tapi pertempuran di zona degradasi tetap belum kelar. Dari 22 peserta, United berada di urutan 21 dan telah 40 kali main dengan nilai 32. Sebagai juru kunci, Norwich City sudah dipastikan turun ke divisi dua sebab punya nilai 29. 

Pesaing terdekat United adalah Southampton, di posisi 20, yang telah meraih 34 poin tapi cuma menyisakan satu pertandingan. Di atasnya ada Birmingham (35) dan West Ham (36) yang juga tinggal menyelesaikan satu laga. Kecuali Norwich, keempat klub ini gontok-gontokan menghindari sisa dua tiket degradasi. Nilai maksimal United adalah 36, jika sukses mengatasi Manchester City dan kemudian Stoke City di laga terakhir. 

Gol Emosional
Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law
Sontekan Denis Law yang membunuh bekas klubnya.
Minggu sore, 27 April 1974 di Old Trafford, 56.996 pasang mata jadi saksi perang Mancunian yang memastikan nasib United besutan Tommy Docherty di musim 1973/74. United harus menang, apalagi Soton bertandang ke Everton, dan West Ham United bersua Liverpool. Jika dua pesaing itu kalah, United dipastikan berada di atas Southampton dan mendekati poin West Ham, tapi telah menyelesaikan kompetisinya.

Memang, United tetap butuh bantuan klub lain, dan itu jelas berbau keberuntungan. Di laga pamungkas, jika mengalahkan Stoke telah berada di zona nyaman United bisa selamat dari turun kasta. Namun kunci awal dari semuanya itu adalah mengalahkan City, klub yang memakai sisa-sisa tenaga Law saat itu kariernya memasuki senja sebab telah berusia 34 tahun. Jika gagal mengalahkan City, semua hitung-hitungan percuma. 

Entah karena sosok Law atau sebab lain, permainan United ternyata tidak berkembang sesuai skenario. Inisiatif serangan yang seharusnya lebih banyak dibuka United, justru tak kelihatan. Derby kali ini ternyata berjalan loyo. Babak pertama usai begitu saja, jangan lagi mengharap prospek United menang, untuk bikin satu gol pun terasa masih gelap.

Buat penggemar United hal itu ternyata dianggap remeh. Pasalnya mereka kurang memberi suntikan moral berupa teriakan atau dukungan semangat. Yang dilakukan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu datangnya gol. Pada akhirnya harapan mereka salah. Didera perasaan bosan main adem ayem, pemain City coba iseng-iseng menggebrak.

Di menit 84 terjadilah peristiwa yang kelak akan dikenang sebagai The Denis Law Game. Prahara diawali ketika bola yang digiring sayap kiri United, Willie Morgan, direbut oleh Mike Doyle. Oleh Doyle bola segera dioper ke Mike Summerbee yang berdiri bebas.

Dari tengah, Summerbee yang tak terkawal sama sekali dengan akselerasi tinggi menuju kotak penalti United. Ketika coba dihadang dua bek United, ia mengumpan bola ke Francis Lee yang langsung merobek sisi kiri pertahanan United. Lee dikawal dua pemain lawan, tapi secara cerdik bisa meloloskan bola di antara kaki.
Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law
Denis Law diapit Frank Summerbee dan Francis Lee.
Bola itu sebenarnya telah membuat Denis Law yang tak bebas berdiri di depan gawang - mati langkah. Namun nalurinya sebagai eks bintang besar ternyata masih ada. Terkesan malas-malasan dan asal kena, sambil membelakangi gawang ia mencocor bola dengan tumitnya, dan gol! 0-1. Publik Old Trafford tersentak melihat back-heeled goal yang dibuat eks pujaannya. Law lebih kaget lagi, tak menyangka sepakan isengnya malah jadi gol emas yang membuat United terdegradasi pada musim 1973/74 itu!

"Saya tak pernah merasa tertekan selama hidup kecuali hari ini. Setelah 19 tahun selalu puas kalau mencetak gol, pada akhirnya saya telah membuat sebuah gol yang paling saya sesali, gol yang tak pernah saya maui. Ini adalah gol paling emosional yang pernah saya buat. Tapi begitulah sepak bola, karena saat ini saya adalah pemain City," ucap Denis Law usai pertandingan.

Setelah bola bersarang di gawang Alex Stepney, Law berjalan gontai. Tiada selebrasi sama sekali. Uniknya, barangkali untuk mengantisipasi segala kemungkinan, manajer City Tony Book langsung mengganti Law dengan Phil Henson. Law masih sedih dan berjalan ke luar lapangan dengan kepala tertunduk.

Ada cemohan, makian dari publik Old Trafford, tapi mereka tak menyadari bahwa kekecewaan Law jauh lebih hebat. Meski masih tersisa beberapa menit, tiba-tiba laga disudahi wasit sebelum waktunya lantaran para pendukung kedua tim masuk ke lapangan. Rusuh? Tidak, mereka hanya mengungkapkan emosi.
Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law
Denis Law diserbu pendukung The Cityzen.
Pendukung United memaki para pemainnya, sementara kubu City gembira dengan hasil akhir. Kelak di kemudian hari, fans The Cityzen selalu senang mengatakan ini kepada tetangganya: The day Denis Law back-heeled United into the Second Division. Karena masih dirundung duka, United main tanpa semangat di laga akhir. Mereka kalah lagi dari Stoke 1-0.

Red Devils resmi "masuk Neraka" alias turun ke divisi dua bersama Norwich dan Southampton. Itu merupakan degradasi United ketiga selain di 1921/22 dan 1930/31, serta jadi masa-masa yang sulit setelah tak diperkuat lagi oleh trio maut Law, George Best, dan Bobby Charlton. Namun tidak seperti di era 30-an, di mana dibutuhkan delapan musim kembali ke divisi satu, United hanya satu musim main di divisi dua. 

Pada musim 1975/76, mereka kembali lagi ke divisi satu, dan secara luar biasa langsung nangkring di urutan ketiga di bawah Liverpool dan Queen's Park Rangers. Kalau pun ada duka berkepanjangan, justru dialami Denis Law. Saking sedihnya bikin United degradasi, penyerang yang 309 kali membela United dengan rekor 171 gol langsung gantung sepatu! Di Manchester City, ia hanya main 24 kali dan 9 gol, di mana sebuah golnya menentukan nasib Setan Merah sekaligus masa depan dirinya.

DATA-FAKTA

PEKAN KE-40 LIGA INGGRIS 1973/74

Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis LawManchester United 0-1 Manchester City
Waktu: Minggu, 27 April 1974
Tempat: Old Trafford, Manchester
Penonton: 56.996
Gol: 0-1 Denis Law 84'.
Manchester United (4-4-2): Alex Stepney; Alex Forsyth, Stewart Houston, Brian Greenhoff, Jim Holton; Martin Buchan, Willie Morgan, Lou Macari, Sammy McIlroy; Jim McCalliog, Gerry Daly. Manajer: Tommy Docherty
Manchester City (4-4-2): Joe Corrigan; Colin Barrett, Willie Donachie, Mike Doyle, Tommy Booth; Alan Oakes, Mike Summerbee, Colin Bell, Francis Lee; Denis Law (Phil Henson), Dennis Tueart. Manajer: Tony Book

KLASEMEN AKHIR DIVISI 1 LIGA INGGRIS 1973/74


Drama 27 April 1974: Gol Fantastis Di Laga Terakhir Denis Law

(foto: citytilldie/dailymail/manchestereveningnews/manchesterlalala/statto) 

Share:

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!

Buat Italia, sepak bola Inggris adalah sebuah obsesi dan ikon rivalitas. Walau di satu sisi mereka mengklaim Julius Caesar yang mengenalkan sepak bola ke Britania, tapi pada sisi lain, budaya calcio Italia juga mengakui Inggris sebagai tanah air sejati sepak bola yang memicu berkembangnya permainan sepak bola modern di negeri mereka. Yang menarik, sejalan dengan peredaran waktu, efeknya jadi serius. Orang-orang Italia berubah impulsif jika harus bicara atau meladeni gaya Inggris. Pada dasarnya, Italia lebih suka berkelahi dengan Brasil atau Jerman sekalian daripada ketemu Inghilterra.

Pasalnya budaya sepak bola Italia mencap gaya Britania sebagai momok menakutkan, minimal bikin puyeng dan capek meladeninya. Lucunya, orang Inggris pun merasakan hal yang sama. Ada dua lawan yang paling dibenci bangsa Inggris: Jerman dan Italia! Bek dan kiper Italia paling gedeg sekaligus jiper dengan umpan lambung atau crossing dari sayap kiri dan kanan ke gawang mereka. Sedangkan para penyerang Italia paling sebal bertemu bek-bek Inggris yang suka hantam kromo dan dianggap main tidak pake otak. Mengalahkan Inggris jadi kemenangan sejati. Lebih sejuk rasanya dari menghantam Argentina, Prancis, atau Belanda. Apalagi jika terjadi di rumah mereka. Lebih afdol lagi, bila kemenangan itu juga membuat efek buruk nan menikam bagi tim-tim Inggris.

Ini yang bikin lakon bentrok lapangan hijau Anglo-Italian di manapun, kapan pun serta dalam bentuk apa pun, selalu dianggap prestisius oleh bangsa Italia. Walau kesuksesan mengatasi Inggris kerap lahir dari cara-cara yang kurang fair, bagi mereka itu bukan soal besar. Kultur sepak bola Italia menganggap hal-hal kontroversial, politis, dan bahkan unsur klenik, sebagai bagian dari sepak bola itu sendiri. Berikut ini 10 duel terbaik menaklukkan Inggris yang dianggap majalah Calcio Italia paling top sepanjang masa.

10. ARSENAL 0-1 FIORENTINA (Wembley, London, 27 Oktober 1999)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Kesalahan pasukan Arsene Wenger adalah tak memaknai utuh kesaktian Gabriel Batistuta yang punya genjotan kaki kanan mematikan. Intersep Joerg Heinrich di menit 74, tak segera stop The Gunners. Menjelang kotak penalti, dia memberi umpan ke kanan pada Batigol, yang rada renggang dari kawalan Nigel Winterburn. Dengan tenaga mumpuni, Bati melaju, unggul sedetik, lalu melesakkan bola ke atas kepala David Seaman dari sudut sempit! Kekalahan ini amat menyesakkan lantaran La Viola cuma punya tiga peluang, sedangkan Arsenal memiliki sembilan peluang untuk mencetak gol. Dampaknya, Arsenal tersingkir dari Grup B Liga Champion 1999/2000. Fiorentina dan Barcelona lolos.

(foto: latestanelpallone)

9. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 12 Februari 1997)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Penyisihan Piala Dunia 1998 Grup 2. Sebanyak 75.055 pasang mata di Wembley jadi saksi kehebatan Gianfranco Zola, attacanti Gli Azzurri yang jadi idola Chelsea. Baru 18 menit, sebuah umpan jauh dari Billy Costacurta digapai Zola. Lewat akselerasi indah, ia menjemput bola, membawa ke kanan untuk membuka ruang. Graeme Le Saux terus mengejarnya. Tapi Zola terus meliuk-liuk. Di detik terakhir hadangan kaki Sol Campbell menghampiri, dia melepaskan tembakan. Bola malah melenting dan bikin kaget Ian Walker. Jala Inggris bergetar. Untungnya kekalahan ini tak melahirkan efek buruk bagi timnya Glenn Hoddle. Three Lions tetap lolos ke Prancis. Namun bagi allenatore Cesare Maldini sungguh fenomenal di saat-saat awal memimpin Azzurri: menang di Wembley, dan anaknya, Paolo, ikut main!

(foto: ansa)

8. INTER 3-0 LIVERPOOL (Giuseppe Meazza, Milano, 12 Mei 1965)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Semifinal II Liga Champion 1964/65 menjodohkan dua pelatih legendaris, Hellenio Herrera dan Bill Shankly. Inter adalah juara bertahan. Sedang Liverpool debutan yang mimpi menjadi klub Inggris pertama peraih juara Eropa. Laga awal 4 Mei, Liverpool menang 3-1. "Malam ini kita kalah tapi belum menyerah!" kata Herrera yang meninggalkan ancaman. Benar saja. Pada duel di Milano, Inter unggul cepat 1-0 via Corso (8'). 

Namun gol kedua amat kontroversial. Saat kiper Tommy Lawrence mau menangkap bola, Joaquim Peiro bangun dari cedera di belakang gawang. Ia merebut bola dan melob bola ke gawang kosong. Gol! Liverpool protes berat, tapi tak digubris wasit Spanyol Ortiz Mendibil. Gol emas dibuat Giacinto Facchetti (62'). Setelah itu, Herrera memerintahkan untuk 'mematikan' permainan. Pers Italia menamai laga ini E'l Astuzia di Peiro atau 'Buah Kelicikan Peiro'.

(foto: wikiwand)

7. ROMA 3-1 CHELSEA (Olimpico, 4 November 2008)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Jangan disangka, duel klasik Anglo-Italian selalu dari zaman baheula. Duel ini dari matchday 4 Liga Champion musim ini. Setelah kalah 0-1 di laga sebelumnya, pelatih Luciano Spalletti kian faham dengan gaya Chelsea di tangan Luiz Scolari. Spalletti juga jeli melihat celah kondisi kapal Chelsea yang sedang oleng di Premier League. Tapi sebelum bikin menu pembalasan, Spalletti minta syarat pada pemainnya: segera temukan kembali confidenza, kepercayaan diri. 

Rupanya ini dipenuhi. Hasilnya, melodi main Roma jadi beda serta mengacaukan resep racikan Scolari. Dengan dua golnya, Mirko Vucinic jadi bintang. Benar, kedua tim tetap lolos ke babak knock-out, tapi setidaknya telah mengubah skenario asli Chelsea di Liga Champion.

(foto: boxofficefootball)

6. ITALIA 1-0 INGGRIS (Comunale, Torino, 15 Juni 1980)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Grup 2 Piala Eropa 1980. Italia ditahan 0-0 oleh Spanyol pada laga awal di Milano. Begitu pun Inggris. Gol Ray Wilkins di menit 26, disamakan Jan Cuelemans hanya selang empat menit. Italia vs Inggris ada di laga kedua. Italia harus menang, dan mereka menang. Duel ini berkesan bagi Azzurri lebih banyak dikarenakan faktor Marco Tardelli. Dia yang mematikan gerakan kapten Inggris sang superstar Kevin Keegan. Dan Tardelli pula yang mencetak gol emas di menit 79. 

Hebatnya lagi, skuad Enzo Bearzot bermain ala Inggris: menyerang full dari sayap! Pada laga terakhir, Inggris menang atas Spanyol 2-1, sedang Italia menahan Belgia 0-0. Klasemen akhir: Belgia 4, Italia 4, Inggris 3, Spanyol 1. Terbukti sudah, menang dari Inggris jadi kunci sukses.

(foto: theguardian)

5. JUVENTUS 3-0 MANCHESTER UNITED (Comunale, Torino, 3 November 1976)


Karena hanya menjadi runner-up Serie A di bawah Torino, La Vecchia Signora harus tampil di level kedua kejuaraan Eropa. Tapi jadi bernasib baik sebab membuahkan kepuasan hebat. Di era ini Piala UEFA masih bergengsi. Dan di musim 1976/77 para pesertanya tidak main-main. Ada Ajax, Bayern, Barcelona, Inter, Red Star, AC Milan, Celtic dan Feijenoord. Namun yang paling diperhitungkan Juve adalah rombongan Inggris: Manchester City, Derby County, Queens Park Rangers dan Manchester United. 

Di babak awal, Roberto Bettega cs. berjuang keras mengatasi City.Juventus unggul agregat 3-1 (0-1 dan 3-0). Di babak kedua, skuad Giovanni Trapattoni terbang lagi ke Manchester bertemu Red Devils. Hasilnya sama! Kalah 0-1 dan menang 3-0! Menyingkirkan klub kuat Inggris bikin Juve jadi percaya diri. Pada akhirnya mereka meraih titel setelah di final mengatasi Athletic Bilbao.

(foto: lagareliadelfutbol)

4. MILAN 2-1 LIVERPOOL (Olympiakos, Athena, 23 Mei 2007)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Ini ulangan final 2005. Kalah tragis di Istanbul, masih menohok skuad dan fan Rossoneri sedunia. Jelang final, orang menunggu apa respon AC Milan mengatasi trauma. Media massa di Italia merancang skenario di final II. Membedah strategi Carlo Ancelotti, ternyata mesti menunggu hingga kick-off. Jawaban itu ada di Ricardo Kaka! Don Carletto kali ini memainkan il Pippo di depan sendirian, mematok Gattuso-Ambrosini untuk meladeni duet Alonso-Mascherano. 

Harapan terbesar ada di duo lainnya, Pirlo-Seedorf. Hasilnya paten. Kaka jadi leluasa berkreasi! Filippo Inzaghi jadi pahlawan dengan dua golnya. Semenit mau usai, Liverpool back to game gara-gara gol Dirk Kuijt. Tapi Milan telah bersumpah ogah terperosok dua kali ke lubang yang sama. Dan Rossoneri pun membayar dendamnya dengan lunas!

(foto: acmi1899)

3. INTER 3-0 ASTON VILLA (Giuseppe Meazza, Milano, 7 November 1990)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Laga ini dianggap lebih fenomenal dari bentrok Milan vs Liverpool. Laga di babak kedua Piala UEFA ini memang dramatis. Kalau Inter tak bisa mengatasi Aston Villa, maka mustahil ada gelar Piala UEFA. Pada laga di Villa Park, Inter diacak-acak duet David Platt-Tony Cascarino sebelum kalah 0-2. Padahal pelatih Giovanni Trapattoni memainkan trio juara dunia 1990: Lothar Matthaeus, Juergen Klinsmann dan Andreas Brehme.

Namun di laga kedua ceritanya terbalik. Tiga gol dari Klinsmann, Nicola Berti, dan Alessandro Bianchi mengubur harapan Aston Villa. Gilanya, gol ketiga Inter lagi-lagi kontroversial. Bola lambung Fausto Pizzi sebelum dihajar Bianchi, terlihat jelas sudah out. Berbekal super comeback, Inter terus melaju hingga ke final dan membungkam AS Roma.

(foto: myinteraltervista.org)

2. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 11 November 1973)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Superstar bentrok Anglo-Italian kali ini tak disangka-sangka. Dia adalah Fabio Capello, yang kini menjadi pelatih nasional Inggris! Aksi Capello menampar negeri penggagas sepak bola modern. Ironisnya reputasi Capello 'dibantu' Peter Shilton. Di laga friendly yang dihadiri 88 ribu orang di Wembley, satu crossing Giorgio Chinaglia dari sisi kiri gagal diamankan Shilton. Umpan sepele itu malah lepas. Capello yang ada di depan gawang enak sekali, tinggal mencocor bola ke jala. Celakanya, gol ini terjadi di menit 87. 

Ironi yang kedua, partai ini adalah laga terakhir bagi dua legenda sepak bola yang menjadikan Inggris menjadi juara dunia 1966. Mereka adalah kapten nasional paling kharismatik, Sir Bobby Moore, yang mengakhiri caps-nya yang ke-108 kali, serta Martin Peters.

(foto: gazzettaworld)

1. LIVERPOOL 1-2 GENOA (Anfield, 18 Maret 1992)

Anglo-Italian II: Top 10 Wins Over The English!Laga yang jadi juara sejati tajuk Wins Over The English! Sekilas memang kurang sreg. Namun ditelaah lebih dalam, ada benarnya. Partai ini sakral bukan dari soal menangnya Genoa di Anfield dan di Marasi. Lebih ke politis, soal hati. Inilah pembalasan pertama rakyat Italia pada Inggris. Anda akan mengerti jika diingatkan soal Tragedi Heysel 1985 di Brussels. Terbunuhnya 39 Juventini oleh suporter Liverpool dianggap sebagai bencana nasional. Itu menyatukan Italia.

Kalau hal itu terjadi di Amerika Latin atau Afrika, bisa jadi dua negara itu langsung perang. Waktu Tomas Skuhravy, Carlos Aguilerra, atau Branco berduel dengan Liverpool, Grifoni juga didukung serta didoakan satu Italia! Dan makbul, Liverpool keok 0-2 dan 1-2 di perempat final. Sayang Genoa dibekuk Ajax di semifinal. Namun tumbangnya ikon Liverpool oleh sebuah klub tertua di Italia ini dianggap sebagai simbol hegemoni Italia atas Inggris sampai kini. Laga itu dijadikan bukti bahwa Julius Caesar-lah yang memang mengajarkan sepak bola pada bangsa Inggris! Luar biasa.

(foto: dailypost)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini